Selasa, 16 Oktober 2012



Inspirasi Bisnis


  •  Harland Sanders, “KFC, Ayam Goreng Legendaris”

Tidak banyak yang dikaruniai kehidupan seperti Harland Sanders. Lahir pada abad ke-19 (tahun 1890), ayam goreng ciptaannya Kentucky Fried Chikken (KFC) sukses di abad ke-20 dan di abad ke 21 ini terus berkembang. Tahun 1964, Sanders menjual hak paten ayam gorengnya seharga 2 juta USD. Pada tahun 1968, KFC masuk bursa efek New York. Tahunita 1968, hak patennya dibeli oleh pepsi dengan harga 840 juta USD.
Semasa kecil, Sanders hidup menderita. Ayahnya meninggal saat a berusia 6 tahun. Pada usia 10 tahun, Sanders bekerja sebagai tukang parkir dan di pompa bensin, kemudian menjadi petugas pemadam kebakaran. Dengan kegigihannya, ia bisa memiliki pompa bensin. Berbekal kepandaiannya memasak di masa kecil saat membantu ibunya yang menjada, Sanders menjual makanan kepada para pelanggan pompa bensin. Banyak pelanggan yang kemudian datang bukan untuk mengisi bensin, tetapi untuk membeli makanan.
Sanders terus bereksprimen dalam bidang makanan. Salah satu temuannya adalah ramuan tepung berbumbu untuk melapisi ayam goreng, terbuat dari belasan bumbu dan rempah-rempah. Ramuan khusus ini ditemukan saat Sanders berusia 49 tahun (1939). Ia tidak langsung kaya. Tahun 1950, ia bangkrut dan bersama istrinya, Claudia, harus menyambung hidup dari uang jaminan sosial. Mereka berkelana dengan mobil tua dari kota ke kota, untuk menawarkan resep ayam goreng dan ternyata tak ada yang berminat. Tak jarang mereka harus tidur di mobil dan menahan lapar.
Memang benar bahwa kegagalan adalah awal dari kesuksesan. Pada tahun kedua, 1952, Sanders menemukan restoran yang mau mengguanakan resep ayam gorengnya. Ternyata, ayam gorengnya digemari banyak orang. KFC booming dan berekspansi dengan sistem franchise. Di banyak negara, termasuk beberapa kota di Indonesia, KFC digemari oleh tua, muda, bahkan anak-anak. Harland Sanders meninggal pada usia 91 tahun (1981) kerena leukemia. Pak Tua berjenggot putih itu telah tiada, tetapi namanya tetap abadi.
Dikutip dari buku ‘Pensiun Sukses’. Oleh: Surasono I. Soebari. Peneribit: Penebar Swadaya, Depok.

  • Soedomo Mergonoto (Pemilik Usaha PT. Kopi Kapal Api)
Nama Soedomo Mergonoto memang tak sepopuler Kopo Kapal Api meskipun dia adalah pendiri sekaligus pemilik merek kondang itu. Dari tangan pria berusia 54 tahun ini, lahir sejumlah merek kopi lain seperti kopi ABC (second brand), Kopi Ya (untuk lapisan ketiga), Wenz (Hongkong), Santos, Sulotco, Excelso (ketegoro ground dan reasted coffee), serta kopi instan Good Day.
Perjuangan Sin Cong di Ngaglik, Surabaya ini memang luar biasa. Mengayuh sepeda ontel mulai dari kawasan Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, sampai kampung-kampung sekitarnya untuk menawarkan kopi bukanlah sesuatu yang asing baginya pada tahun 1966. Lahirnya kopi Kapal Api berawal dari ketertarikannya melihat produk sabun Lux dan cap tangan milik Unilever yang dikemas kecil-kecil.
Dari sini, mincul keinginan serupatawa. Tanpa pikir panjang, bubuk kopi yang sudah diberi merek Kapal Api pada tahun 1950-an langsung dikemas dalam bentuk contongan. Tiap contongan diisi bubuk kopi dengan berat 100 gram. Inovasi kecil ini ternyata di respon poeitif oleh pasar. Semua kopi Kapal Api yang ditawarkan selalu diserap pasar. Prestasi ini tidak membuat anak ke-4 dari 7 bersaudara dari pasangan Go Soe Loet (almarhum) dan Too Goan Coan (almarhumah) ini berpuas diri.
Bahkan pada tahun 1977, ia melihat kopi gorengnya kalah harum dibanding produksi eropa. Ini menjadi perhatiannya. Domo langsung menghubungi pemasok mesin di Indonesia (Lembaga Ikatan Indonesia Jerman). “Begitu dapat kiriman, saya terkejut. Yang kami punya ternyata produksi tahun 1800-an.” Kata Domo. Karena masalah modal, keinginan memiliki mesin hanya dipendam. Ketika berlangsung pameran Interpack  di Dusseldorf, Jerman, pada tahun 1978, Demo langsung mendatanginya. Sayang, harganya terlalu mahal, Rp 123 juta.
Selanjutnya, ia membuat gebrakan dalam hal promosi. Kopi Kapal Api pun diiklankan di TVRI. Ini langkah yang berani pada tahun 1978. Maklum, waktu itu tak satupun produsen kopi melakukan hal yang sama. Untuk daya tarik produk,  ia memasang pelawak kondang, Paimo. Domo mulai menyusuri hampir seluruh wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat bahkan Sumatera. Perkembangan kopi Kapal Api semakin pesat.
Masih belum puas, pada tahun 1980-an, ia kembali mengontak ke Jerman. Ia ingin tahu kualitas kopi buatannya dibanding kopi hasil penggorengan dari Jerman. Hasilnya membuat Domo Terkejut. Keharumana kopi dari Jerman jauh di atas kopi buatannya. Hal itu membuatnya bersemangat membeli mesin dari Jerman. Sayang, biayanya terlalu mahal, Rp 130 juta. Bandingkan dengan mesin serupa produksi lokal yang hanya 1,75 juta. Domo tak patah arang. Setelah bertanya kesana kemari, ia mendapat kabar bahwa agen mesin tersebut ada di Indonesia. Perusahaan ini memberi kelonggaran. Domo hanya diminta membayar down payment 20%. Sisanya diangsur setiap 6 bulan selama 1,5 tahun.
Sejak itu, kopi Kapal Api memulai roduksi dengan kapasitas lebih besar. Pada tahun 1985, ia berhasil menembus pasar Arab Saudi dan pada tahun 1990-an merambah hongkong, Taiwan, dan Malaysia. Pada tahun 1984, ia meluncurkan kopo ABC. Kehadiran produk tersebut saat itu ditujukan untuk menghadapi kehadiran kopi bubuk Sosro. Is menghadirkan kopi ABC sebagai fighting brand. Hasilnya cukup menggembirakan. Kopi bubuk Sosro perlaahan ditinggalkan pasar. Hal serupa juga terjdi pada kopi produksi Dharmala. Akhirnya, kedua produk tersebut  menghilang dari Pasaran.
Untuk melengkapi penetrasi di pasar kopi, pada tahun 1990-an, kopi Kapal Api meluncurkan cafe shop, dengan bendera PT. Exelso Multi Rasa. Semula hanya didrikan dua gerai, yakni di Plaza Indonesai (Jakarta) dan Plaza Tanjungan II (Surabaya). Kini, kafe serupa tersebar hampir di seluruh kota  di Indonesia, bahkan juga di luar negeri, yakni Baijing (1998) dan Taiwan (2000). “Kesuksesan saya karena terjun tidak setengah-setengah dan menjaga kualitas produk serta pemasaran secara konsisten.,” ujar bapak tiga anak ini  dengan bangga.
Dikutip dari buku ‘Tujuh Jurus Sukses Memulai Usaha’. Oleh: Eni Setiati. Peneribit: Andi, Yogyakarta.

  • Purdi E. Chandra (Pelopor Usaha Bimbingan Belajar Primagama)
Kalau saja ia nekat meneruskan kuliahnya di Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, tentu kehidupan Purdi E. Chandra akan berbeda. Mungkin ia tidak akan menjadi pemilik lembaga bimbingan belajar Primagama. Kala itu, Purdi mengakui bahwa jiwanya sering berontak sehingga sehingga sering bolos kuliah. Namun, siapa menyangka, meski tida tsempat menamatkan kuliah, ia justru bisa membangun kerajaan usaha bimbingan belajar Prigama. Bimbingan belajar Prigama berhasil dibangunnya lewat keberanian dan semangat wirausaha yang telah tumbuh dalam dirinya. Dengan modal keberanian dan semangat itulah Purdi mengawali langkah kakinya sebagai pengusaha.
Sebagai mahasiswa di awal tahun 1980-an, otak Purdi tergolong encer. Buktinya, ia kerap lulus setiap kali mengikuti tes masuk ke beberapa jurusan. Dari keenceran otaknya itu, Purdi tergerak dan berinisiatif membuka usaha bimbingan belajar. Meskipun gagal meraih gelar sarjana, Purdi justru memperoleh gelar lain yang diterimanya berkat kerja kerasnya  membangun usaha bimbingan belajar, yaitu pengusaha sukses. Keeceran otaknya mendorong Purdi untuk mendirikan lembaga bimbingan tes. Usaha itu dibangun  dengan modal  Rp 300 ribu dan bangku pinjaman yang disewakan  dari sebuah tempat. Dengan keberanian dan semangat  wirausaha yang tumbuh dalam dirinya itu, Purdi lantas membuka lembaga bimbingan tes bernama Prigama  di Yogyakarta. Sebagai promosi, Purdi memberi bimbingan tes gratis bagi 15 siswa. Siswa-siswa tersebut pada akhirnya memberitahukan keberadaan bimbingan belajar Primagama.
Bimbingan tes Prigama sukses mengantar siswa-siswa bimbingannya masuk ke perguruan tinggi favorit. Seiring dengan itu, usahanya pun makin berkembang. Kini usaha bimbingan Primagama yang diirnitis dari bangku sewaan itu telah beranak-pinak hingga ke seluruh kota besar di tanah air dan telah dikembangkan ke dalam sistem waralaba.
Dikutip dari buku ‘Tujuh Jurus Sukses Memulai Usaha’. Oleh: Eni Setiati. Peneribit: Andi, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar