- Harland Sanders, “KFC, Ayam Goreng Legendaris”
Tidak banyak yang dikaruniai kehidupan seperti Harland Sanders.
Lahir pada abad ke-19 (tahun 1890), ayam goreng ciptaannya Kentucky Fried
Chikken (KFC) sukses di abad ke-20 dan di abad ke 21 ini terus berkembang.
Tahun 1964, Sanders menjual hak paten ayam gorengnya seharga 2 juta USD. Pada
tahun 1968, KFC masuk bursa efek New York. Tahunita 1968, hak patennya dibeli
oleh pepsi dengan harga 840 juta USD.
Semasa kecil, Sanders hidup menderita. Ayahnya meninggal saat a
berusia 6 tahun. Pada usia 10 tahun, Sanders bekerja sebagai tukang parkir dan
di pompa bensin, kemudian menjadi petugas pemadam kebakaran. Dengan
kegigihannya, ia bisa memiliki pompa bensin. Berbekal kepandaiannya memasak di
masa kecil saat membantu ibunya yang menjada, Sanders menjual makanan kepada
para pelanggan pompa bensin. Banyak pelanggan yang kemudian datang bukan untuk
mengisi bensin, tetapi untuk membeli makanan.
Sanders terus bereksprimen dalam bidang makanan. Salah satu
temuannya adalah ramuan tepung berbumbu untuk melapisi ayam goreng, terbuat
dari belasan bumbu dan rempah-rempah. Ramuan khusus ini ditemukan saat Sanders
berusia 49 tahun (1939). Ia tidak langsung kaya. Tahun 1950, ia bangkrut dan
bersama istrinya, Claudia, harus menyambung hidup dari uang jaminan sosial.
Mereka berkelana dengan mobil tua dari kota ke kota, untuk menawarkan resep
ayam goreng dan ternyata tak ada yang berminat. Tak jarang mereka harus tidur
di mobil dan menahan lapar.
Memang benar bahwa kegagalan adalah awal dari kesuksesan. Pada
tahun kedua, 1952, Sanders menemukan restoran yang mau mengguanakan resep ayam
gorengnya. Ternyata, ayam gorengnya digemari banyak orang. KFC booming
dan berekspansi dengan sistem franchise. Di banyak negara, termasuk
beberapa kota di Indonesia, KFC digemari oleh tua, muda, bahkan anak-anak.
Harland Sanders meninggal pada usia 91 tahun (1981) kerena leukemia. Pak Tua
berjenggot putih itu telah tiada, tetapi namanya tetap abadi.
Dikutip dari buku ‘Pensiun Sukses’. Oleh: Surasono I. Soebari.
Peneribit: Penebar Swadaya, Depok.
- Soedomo Mergonoto (Pemilik Usaha PT. Kopi Kapal Api)
Nama Soedomo Mergonoto memang tak sepopuler Kopo Kapal Api
meskipun dia adalah pendiri sekaligus pemilik merek kondang itu. Dari tangan
pria berusia 54 tahun ini, lahir sejumlah merek kopi lain seperti kopi ABC (second
brand), Kopi Ya (untuk lapisan ketiga), Wenz (Hongkong), Santos,
Sulotco, Excelso (ketegoro ground dan reasted coffee), serta kopi
instan Good Day.
Perjuangan Sin Cong di Ngaglik, Surabaya ini memang luar biasa.
Mengayuh sepeda ontel mulai dari kawasan Pelabuhan Tanjung Perak,
Surabaya, sampai kampung-kampung sekitarnya untuk menawarkan kopi bukanlah
sesuatu yang asing baginya pada tahun 1966. Lahirnya kopi Kapal Api berawal
dari ketertarikannya melihat produk sabun Lux dan cap tangan milik Unilever
yang dikemas kecil-kecil.
Dari sini, mincul keinginan serupatawa. Tanpa pikir panjang, bubuk
kopi yang sudah diberi merek Kapal Api pada tahun 1950-an langsung dikemas
dalam bentuk contongan. Tiap contongan diisi bubuk kopi dengan berat 100 gram.
Inovasi kecil ini ternyata di respon poeitif oleh pasar. Semua kopi Kapal Api
yang ditawarkan selalu diserap pasar. Prestasi ini tidak membuat anak ke-4 dari
7 bersaudara dari pasangan Go Soe Loet (almarhum) dan Too Goan Coan (almarhumah)
ini berpuas diri.
Bahkan pada tahun 1977, ia melihat kopi gorengnya kalah harum
dibanding produksi eropa. Ini menjadi perhatiannya. Domo langsung menghubungi
pemasok mesin di Indonesia (Lembaga Ikatan Indonesia Jerman). “Begitu dapat
kiriman, saya terkejut. Yang kami punya ternyata produksi tahun 1800-an.” Kata
Domo. Karena masalah modal, keinginan memiliki mesin hanya dipendam. Ketika
berlangsung pameran Interpack di
Dusseldorf, Jerman, pada tahun 1978, Demo langsung mendatanginya. Sayang,
harganya terlalu mahal, Rp 123 juta.
Selanjutnya, ia membuat gebrakan dalam hal promosi. Kopi Kapal Api
pun diiklankan di TVRI. Ini langkah yang berani pada tahun 1978. Maklum, waktu
itu tak satupun produsen kopi melakukan hal yang sama. Untuk daya tarik
produk, ia memasang pelawak kondang,
Paimo. Domo mulai menyusuri hampir seluruh wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah,
Jawa Barat bahkan Sumatera. Perkembangan kopi Kapal Api semakin pesat.
Masih belum puas, pada tahun 1980-an, ia kembali mengontak ke
Jerman. Ia ingin tahu kualitas kopi buatannya dibanding kopi hasil penggorengan
dari Jerman. Hasilnya membuat Domo Terkejut. Keharumana kopi dari Jerman jauh
di atas kopi buatannya. Hal itu membuatnya bersemangat membeli mesin dari
Jerman. Sayang, biayanya terlalu mahal, Rp 130 juta. Bandingkan dengan mesin
serupa produksi lokal yang hanya 1,75 juta. Domo tak patah arang. Setelah
bertanya kesana kemari, ia mendapat kabar bahwa agen mesin tersebut ada di
Indonesia. Perusahaan ini memberi kelonggaran. Domo hanya diminta membayar down
payment 20%. Sisanya diangsur setiap 6 bulan selama 1,5 tahun.
Sejak itu, kopi Kapal Api memulai roduksi dengan kapasitas lebih
besar. Pada tahun 1985, ia berhasil menembus pasar Arab Saudi dan pada tahun
1990-an merambah hongkong, Taiwan, dan Malaysia. Pada tahun 1984, ia
meluncurkan kopo ABC. Kehadiran produk tersebut saat itu ditujukan untuk
menghadapi kehadiran kopi bubuk Sosro. Is menghadirkan kopi ABC sebagai fighting
brand. Hasilnya cukup menggembirakan. Kopi bubuk Sosro perlaahan
ditinggalkan pasar. Hal serupa juga terjdi pada kopi produksi Dharmala.
Akhirnya, kedua produk tersebut
menghilang dari Pasaran.
Untuk melengkapi penetrasi di pasar kopi, pada tahun 1990-an, kopi
Kapal Api meluncurkan cafe shop, dengan bendera PT. Exelso Multi Rasa.
Semula hanya didrikan dua gerai, yakni di Plaza Indonesai (Jakarta) dan Plaza
Tanjungan II (Surabaya). Kini, kafe serupa tersebar hampir di seluruh kota di Indonesia, bahkan juga di luar negeri,
yakni Baijing (1998) dan Taiwan (2000). “Kesuksesan saya karena terjun tidak
setengah-setengah dan menjaga kualitas produk serta pemasaran secara
konsisten.,” ujar bapak tiga anak ini
dengan bangga.
Dikutip dari buku ‘Tujuh Jurus Sukses Memulai Usaha’.
Oleh: Eni Setiati. Peneribit: Andi, Yogyakarta.
- Purdi E. Chandra (Pelopor Usaha Bimbingan Belajar Primagama)
Kalau saja ia nekat meneruskan kuliahnya di Universitas Gajah Mada
(UGM), Yogyakarta, tentu kehidupan Purdi E. Chandra akan berbeda. Mungkin ia
tidak akan menjadi pemilik lembaga bimbingan belajar Primagama. Kala itu, Purdi
mengakui bahwa jiwanya sering berontak sehingga sehingga sering bolos kuliah.
Namun, siapa menyangka, meski tida tsempat menamatkan kuliah, ia justru bisa
membangun kerajaan usaha bimbingan belajar Prigama. Bimbingan belajar Prigama
berhasil dibangunnya lewat keberanian dan semangat wirausaha yang telah tumbuh
dalam dirinya. Dengan modal keberanian dan semangat itulah Purdi mengawali
langkah kakinya sebagai pengusaha.
Sebagai mahasiswa di awal tahun 1980-an, otak Purdi tergolong
encer. Buktinya, ia kerap lulus setiap kali mengikuti tes masuk ke beberapa
jurusan. Dari keenceran otaknya itu, Purdi tergerak dan berinisiatif membuka
usaha bimbingan belajar. Meskipun gagal meraih gelar sarjana, Purdi justru
memperoleh gelar lain yang diterimanya berkat kerja kerasnya membangun usaha bimbingan belajar, yaitu
pengusaha sukses. Keeceran otaknya mendorong Purdi untuk mendirikan lembaga
bimbingan tes. Usaha itu dibangun dengan
modal Rp 300 ribu dan bangku pinjaman
yang disewakan dari sebuah tempat.
Dengan keberanian dan semangat wirausaha
yang tumbuh dalam dirinya itu, Purdi lantas membuka lembaga bimbingan tes
bernama Prigama di Yogyakarta. Sebagai
promosi, Purdi memberi bimbingan tes gratis bagi 15 siswa. Siswa-siswa tersebut
pada akhirnya memberitahukan keberadaan bimbingan belajar Primagama.
Bimbingan tes Prigama sukses mengantar siswa-siswa bimbingannya
masuk ke perguruan tinggi favorit. Seiring dengan itu, usahanya pun makin
berkembang. Kini usaha bimbingan Primagama yang diirnitis dari bangku sewaan
itu telah beranak-pinak hingga ke seluruh kota besar di tanah air dan telah
dikembangkan ke dalam sistem waralaba.
Dikutip dari buku ‘Tujuh Jurus Sukses Memulai Usaha’.
Oleh: Eni Setiati. Peneribit: Andi, Yogyakarta.